Temanku (Sedang) Berjuang
Kehidupan akan terus berlanjut entah kamu lelah atau
tidak, sakit atau sehat, dan lain-lain. Waktu akan terus bergulir dan bergulir.
Kamu tidak akan bisa menahannya, tidak ada pula remote kontrol untuk memberhentikan,
mengulang, mempercepat dan memperlambat apa saja yang akan terjadi dalam
kehidupanmu.
Hari
ini, aku dapat mengunjungi teman sebayaku. Teman kuliahku, teman baikku. Ia menempati
salah satu kasur di rumah sakit Dharmais ruang HCU. Keadaannya sangat tidak
pernah aku sangka. Tangannya membesar, jari-jari tangannya membengkak, lebam
dan berbecak biru. Sangat menyesakkan dada melihatnya terbaring seperti itu. Sekedar
membuka mata pun ia harus berjuang. Bahkan bernapas, ia sudah sering lupa untuk
mengambil udara. Rambut hitam tebalnya sudah dicukur dari pertama kali ia akan menjalani operasi.
Rambut yang selalu ia keluhkan karena terlalu mengembang,
seharusnya ia senang sekarang ia memiliki alasan untuk tidak membencinya. Tapi tidak
seperti ini.
Di dadanya terpasang beberapa selang, entah untuk apa itu.
Di tengah-tengah tenggorokannya ada lubang yang terpasang alat. Itu membantunya menjadi lebih mudah, katanya. Tapi aku tahu bahwa ia berteriak kesakitan
untuk itu semua.
Sebelumnya, semua baik-baik saja, kami masih beraktivitas
bersama, bercanda gurau seperti biasa. Aku teringat akan kerja kerasnya dalam
memerankan salah satu peran dalam matkul Drama tempo lalu. Ia sudah mengeluhkan
sakit. Sakit akan tubuhnya yang beberapa kali membuatnya tumbang. Namun, kami
semua tidak terlalu fokus akan apa yang ia rasa saat itu. Fokus kami hanya pada
matkul tsb.
Setelah ia pulang dan memeriksa penyakitnya. Terkejutlah kami
ketika ia memberitahu bahwa terdapat tumor dalam otaknya. Jujur, kami sangat
tidak menyangka akan hal itu.
Hari terus berjalan sampai akhirnya tumor yang menempel
di otaknya mulai merenggut keluwesan tubuhnya. Kami masih sering berkomunkasi,
sesekali mendatangi kediamannya. Bukan untuk bersedih, kami datang untuk
membuatnya lupa akan monster yang ada. Walaupun hanya sebentar.
Semuanya terlihat masih baik-baik saja kemarin. Kemarin. Sekarang tidaklah sama. Waktu untuknya terasa cepat. Cepat karena monster jelek itu terus menerus merenggut fungsi dari tubuhnya. Ia tergeletak lemah sekarang, namun bukan berarti ia menyerah. Ia tidak sendiri, ia tahu akan itu. Aku beberapa kali berbisik pada telinganya, mengatakan bahwa ia tidak sendiri dalam berjuang. Doa-doa kami semua menyertai semangatnya untuk sembuh. Lalu ia mengangguk, menandakan ia tahu. Ia mengerti.
Di sudut
lain dalam ruangan. Aku melihat dan mendengar ayahnya bolak-balik membaca
surat-surat doa untuk anak perempuannya. Sesekali ia mengusap air mata yang
tidak niat untuk ia jatuhkan dari mata sayunya. Di pojokkan aku melihat ibunya
menangis tersedu-sedu, menyesal akan apa yang terjadi pada buah hati
kesayangannya. Hancur pula hatiku melihat itu semua secara langsung dan dekat. Aku
tidak akan pernah mengerti. Bahkan tidak akan mampu untuk membayangkan betapa
tercabik-cabik hati kedua orang tuanya ketika melihat anak sulung kesayangan mereka terkapar di kasur rumah sakit yang paling menakutkan. Namun, aku melihat mereka
tegar. Yakin akan kesembuhan anaknya begitu berapi-api dalam mata mereka. Aku melihat
gerak-gerik mereka yang tak ada sedikitpun keraguan.
Mereka yakin.
Semua yakin.
Dinda pasti sembuh.
Mereka yakin.
Semua yakin.
Dinda pasti sembuh.
Comments