The Dust on My Mind #4
Seperti tidak akan ada habisnya jika kita terus mengulik tentang waktu dan rahasia yang disembunyikan oleh Bumi. Perlahan namun pasti, waktu akan menggiring kita pada sesuatu. Sesuatu yang boleh jadi mengejutkan, menyedihkan, membahagiakan, bahkan membingungkan. Rahasia-rahasia yang selama ini dipendam oleh semesta, perlahan namun pasti, mencuat ke permukaan. Rahasia-rahasia yang bisa jadi diharapkan, diingkan, bahkan diaminkan.
Kemarin aku berpijak pada satu titik,
di sebuah kotak menyesakkan. Di sebuah ruang membosankan. Di sebuah tempat
menakutkan. Lagi dan lagi, pikirku. Sudah muak rasanya mengalami hal-hal
serupa. Namun hidup terus bergulir. Bumi berputar. Sudah pasti cerita akan
terus berlanjut, maupun berulang. Hal itu tidak akan berhenti selama udara
masih bisa dihirup oleh paruh. Saat itu, aku tidak lagi berharap akan apapun.
Juga tidak berharap untuk ditemukan oleh siapapun.
Dengan kesendirian aku ingin berteman.
Dengan segala kekurangan aku ingin bersahabat karena lagi dan lagi, terus menerus
aku menjadikan diriku sendiri musuh abadi. Sukar rasanya berdamai dengan diri
sendiri, maka dari itu, aku memutuskan untuk bercermin pada kaca yang
terbentang luas di bawah kaki pucatku. Merefleksikan kekuranganku, mencari
sesuatu untuk disyukuri. Aku ingin menikmati waktu yang bisa aku gunakan untuk
diriku sendiri. Waktu untuk menjelajahi apa yang aku bisa, dan aku senangi.
Kesempatan untuk melihat sesuatu lebih dekat; air hujan turun ke tanah, burung
gereja terbang ke angkasa, hembusan angin sore, kucing kampung menangkap tikus,
dan orang-orang berlalu lalang di stasiun.
Dalam hidupku, ada begitu banyak pintu menganga. Pintu di mana orang-orang gunakan untuk mengetuk, melintas, bercengkrama, bersentuhan, dan keluar pergi. Tidak pernah dengan sengaja aku kendalikan pintu itu untuk bergerak karena aku tahu, seorang manusia tidak akan benar-benar menjadi manusia tanpa kehadiran manusia lain. Lantas aku persilahkan orang-orang itu datang dan pergi.
Lalu, lepaslah orang-orang yang memutuskan untuk hengkang. Sedih, sudah pasti.
Namun waktu terus melenggang. Portal masih tersingkap. Sekali lagi, tidak
pernah dengan sengaja aku kekang tali kendali. Ku sambut mereka yang datang
dengan maksud baik. Ku rentangkan tangan lebar-lebar pada orang yang menginginkan
sebuah pertemanan. Ku genggam erat-erat mereka yang mendambakan sebuah relasi
baik. Aku mensyukuri semuanya. Kehadiran
dan kepergian orang-orang itu. Sebab aku tahu dengan benar, hidup harus terus
berjalan; selaras dengan apa yang kita butuhkan.
Boleh jadi mereka yang pergi sudah tidak melihat sebuah kebutuhan dalam diriku,
mungkin pula pada orang yang datang aku menemukan sesuatu. Atau mungkin saja, pada
keputusan mereka untuk terbang dan hinggap aku menemukan sebuah kedambaan.
Kebutuhan yang selama ini aku idam-idamkan, kedamaian. Tanpa disadari, dulu aku
tinggal dalam neraka yang ku buat sendiri. Aku bersemayam pada seseorang yang
membuatku lupa akan nilai diriku. Tidak masalah. Semuanya terjadi begitu cepat.
Aku menikmati waktu sepeti itu; mencekik namun tak bisa aku hindari.
Kemudian, poros terang membawaku keluar
dengan perlahan. Aku bisa merasakan hembusan napas kebebasan. Aku terima
kemurnian angin dengan hati lapang
tanpa beban. Bisa jadi kesendirian
adalah remedi. Penawar untuk mendapatkan sebuah ketenangan diri. Resep yang
harus aku tebus dengan perjalanan panjang nan melelahkan. Lagi dan lagi, aku
bersyukur.
Aku kembali mengenali diriku. Aku
kembali mengetahui arah tanpa meraba. Lalu, tanpa aba-aba, ku temukan kau dalam
kesunyian. Menyapa, menjelma bagai merpati abu yang pernah ku lihat kemarin sore.
Begitu sumringah serta bersemangat untuk mendekat dan menyentuh. Seseorang yang
memanifestasikan gelombang suara di ruangan senyap. Ku hirup kau demi
pembaruan.
Namun aku, tanpa sadar masih membawa
cerita lampau; begitu waspada juga angkuh. Seperti ombak pada bibir pantai, aku
melangkah mundur kapanpun kau mencoba untuk gapai. Bukan kau yang aku hindari,
tapi neraka itu. Arang yang menjeratku. Api yang melumat nilai-nilai dalam diriku.
Bukan kau penyebabnya. Aku. Akulah dalang dari kegelapan tersebut. Akulah yang
memusuhi diriku sendiri. Bukan kau monsternya, tapi bayangannya. Sisa-sisa abu
pekat yang menempel pada ingatan dan kulit tipisku.
Dalam sepi, aku sedang tidak
membutuhkan tangan untuk diraih. Aku hanya ingin mengandalkan diriku. Aku hanya
perlu menjadikan pundak lebarku sebagai sandaran. Aku juga tidak berusaha untuk mencari sesosok pahlawan super seperti yang ada di kartun Minggu pagi. Aku hanya ingin melihat diriku pada
pantulan jelas yang dijepret oleh mata telanjangku. Menerima kecacatanku,
mengamini kekuranganku agar bisa ku peluk erat tubuhku. Agar bisa ku bisikkan
kata baik di daun telinga bahwa aku sudah cukup penuh dan utuh. Lalu akan ku
dorong tubuh ini untuk kembali berjalan. Akan ku lecut nadi ini supaya tumbuh.
Anehnya, dalam ruang yang ku buat
sendiri, masih bisa ku tangkap siluetmu mengintip di belakang pohon mati.
Begitu gelap tetapi bersinar karena rembesan cahaya bulan malam itu. Aku tahu,
kau tidak lebih baik dari siapapun. Kau juga tidak lebih buruk dari apapun. Kau
adalah kau dengan segala hal yang kau simpan dalam saku celana hitam
favoritmu.
Bayangan hitam milikmu tetap saja
gelap. Terasa dingin hingga ragu aku menjabarkan jari-jari tanganku. Intuisiku
ingin mengabaikanmu, tapi kau begitu riang merajut jalan setapak. Dalam
pandanganku, aku menangkap sesuatu tentangmu yang ku kagumi juga ku remehkan. Wujud
luar biasa indah namun mematikan. Sesuatu
yang menyenangkan tetapi menjerat. Kau adalah bukti, satu manusia mampu
membawa berjuta-juta perasaan. Kau menunjukkan sisi, memojokkan dan
membingungkan. Lalu melalui mata tajam
milikmu, kau mampu menyudutkanku.
Tidak ada hal yang bisa kupikirkan
selain memposisikan diriku seperti berdiri di atas tali.
Secara sadar, telapak kaki ini berpijak pada tali tipis dengan mata memburu
cahaya dan telinga yang masih mendengar bisikan parau dari bibirmu.
Comments