cerita pendek #3


Terdiam ia, terpana akan mewahnya sinar bulan yang malam ini menyapa. Angin berhembus, menampar kulitnya, perlahan namun pasti, terkoyak kehangatan tubuhnya. Ia lemaskan jari-jari lentiknya, lalu ia remas daging berselimut kulit lengan. Bergetar tubuhnya, mengatup-ngatup mulut lebar dan bibir tebalnya.

Ia tidak mendongak ke atas, takut-takut sesuatu berputar diatas matanya, sebab sudah biasa ia gunakan langit sebagai proyektor dari memori dalam kepalanya. Lantas ia meluruskan pandangannya, memusatkan pada satu titik, sayangnya tak jua ia dapatkan.

Perasaannya kalut. Pilihan menjelma bagaikan ranting pohon yang sedang tumbuh menjadi beberapa cabang yang tak bisa ia kendalikan banyaknya.

Ia menggeleng kepalanya kuat. Berharap dapat menggeserkan apa saja yang menjadi beban dalam dirinya. Penyesalan. Waktu yang terbuang percuma. Air mata yang sudah jatuh ke tanah kering. Air liur yang ia keluarkan ketika hendak mengecup. Semuanya.

Bagaimanapun ia tak sanggup. Tak bisa ia hancurkan begitu saja cabang-cabang yang tertancap abadi di dalam otaknya. Tak punya kekuatan ia untuk memenggal kepalanya sendiri hanya untuk menghilangkan memori-memori.

Ia bersiul, mengalihkan rembesan air di mata yang siap meluncur dengan ganas. Tak juga suara keluar dari mulutnya yang sedaritadi bergerak-gerak.

Lalu ia cubit pergelangan tangannya, ia congkel kulit tipis yang terasa dingin, sekuat tenaga yang ia punya. Perih. Ia merasa. Namun tak dapat juga ia alihkan rasa perih dan ngilu yang bersumber dari dalam pikirannya.

Tersenyum bibir itu selalu di depan orang banyak. Sampai habis suaranya karena gelak tawa pada lelucon yang alih-alih terdengar memilukan. Begitu banyak pasang mata berbinar melihatnya. Melihat bagaimana ia menjadi badut yang menyimpan rasa malu di kantung terdalam celana jeans yang ia gunakan.

Sesuatu yang ia takutkan jauh dari kemarin-kemarin akhirnya terjadi. Monster yang selama ini ia bekukan di dalam laci sebelah tempat tidur empuknya. Masker yang sudah lama ia harap tidak untuk digunakan kembali karena ia takut kalau-kalau ia tidak bisa menariknya kembali.

“Jangan biarkan aku berubah. Jangan biarkan aku berubah. Jangan biarkan aku hilang. Jangan biarkan aku tersesat.” Pintanya dalam hati. Tak terdengar suara namun sangat terasa getarannya hingga ke relung.

Bukan kehilangan dia yang ia takutkan.

Aku.

Aku takut kehilangan aku.   

Rantai itu, yang ia pasang agar tahu jalan kembali pulang tiba-tiba saja hangus. Entah sengaja atau tidak. Ia mengingatnya, saat itu telah ia bakar, ketika ia yakin bahwa rumahnya ada di depan matanya.  

Comments

Popular posts from this blog

cerita pendek #2

The Dust on My Mind #2

Temanku (Sedang) Berjuang