cerita pendek #1
Jam tangan bulat berdetak memecah keheningan malam. Jarum
panjang menunjukkan pukul 9, wanita itu duduk dengan diam. Di seper-empat malam
kala itu, dengan hanya cahaya seikhlasnya dari bulan purnama dan semburat oranye dari
neon teras halte bus ia bernapas pelan. Ia menengadahkan kepalanya, melihat
dan menangkup bulir-bulir air yang turun dari cakrwala di atas telapak
tangannya.
Hujan pertama di tahun baru. Hujan Januari itu menyeret
beberapa memori beku dalam otaknya. Tersimpan rapih berdasarkan kadar
kebahagiaan yang dirasakan. Tak pelak beberapa memori kesedihan masuk nominasi
dalam jajaran sepuluh besar kenangan terbaik di dinding pikirannya. Ia meletakkan
satu, dua, tiga kaset memori yang siap ia putar dalam teater tua kepala
sempitnya.
Tatapannya nanar dan kosong, namun mulutnya tak berhenti
untuk mengembangkan senyuman, beberapa kali ia tertawa hingga bergumam. Suaranya
lalu berenang bersama udara. Mungkin jika ada orang lain duduk di sampingnya,
mereka akan menganggap wanita itu tidak waras. Beruntung saja tidak ada orang,
pikir perempuan itu. Namun ia tidak menampik jikalaupun halte bus itu ramai, ia
pasti akan tetap melakukan kegiatannya seperti sekarang ini.
Tidak peduli dengan kata-kata yang keluar dari lubang
mulut orang lain. Ia mensyukuri fakta bahwa Tuhan menciptakan lubang pula pada
kedua telinganya, sehingga ia bisa langsung memasukkan-mengeluarkan kata yang
sekiranya tidak pantas untuk dikenang.
Lagi, bibirnya mengulum. Jari-jari tangannya bergetar
kala suhu semakin menipis. Ia mampu tertawa sekaligus meringis di waktu yang bersamaan
ketika mengingat sesuatu dalam masa lalunya.
“kak, sedang apa?” kerabatnya lewat dan menyapa.
Wanita itu tidak mendengar, terlalu asyik akan memori
yang sedang ia putar sendiri.
“kak,” panggilnya lagi dibarengi sentuhan cepat pada pipi.
Perempuan itu tersentak, kaget dan sedikit marah ketika
sentuhan kerabatnya seolah-olah merampas film favoritenya dalam toko.
“kenapa sih senang memanggil memori?”
“karena aku sedang mencari sesuatu.”
“memangnya, ada apa sih di masa yang sudah berlalu?”
“banyak. Sekali.” wanita itu tersenyum.
Mendengar jawabannya, kerabatnya tidak mau mengalah, “apa?
Kenapa?”
“aku mencari teman-temanku juga mencari diriku sendiri. Kenapa?
Karena mereka ada di sana, di masa lampau yang sekarang mustahil rasanya akan
terjadi. Tawa, kesedihan, dan perasaan. Tidak akan pernah terasa sama.”
Kerabatnya mengatupkan mulut, biarkanlah saja dia dengan hobi anehnya itu, katanya dalam hati. Sang kerabat lalu tersenyum, “untung saja aku yang menemukanmu, coba saja kalau orang lain. Bisa dianggap gila kau nanti.”
Kerabatnya mengatupkan mulut, biarkanlah saja dia dengan hobi anehnya itu, katanya dalam hati. Sang kerabat lalu tersenyum, “untung saja aku yang menemukanmu, coba saja kalau orang lain. Bisa dianggap gila kau nanti.”
“aku pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu
mengatakan bahwa orang gila adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Terkadang
aku ingin menjadi mereka untuk beberapa waktu, aku ingin gila. Aku ingin
bahagia.”
Comments