Bulan di Selasa Malam
Halo,
bertemu lagi dengan hari Selasa. Entah mengapa semua terjadi tanpa sadar di hari Selasa. Aku pun tidak menyadarinya sebelum menulis ini semua.
Malm ini,
aku melihat bulan dengan bulat sempurna menggantung di langit yang gelap namun tidak terlalu pekat. Bulan dengan gagah muncul diantara para bintang yang tidak begitu banyak namun masih terlihat kilatannya.
Dia, malam ini terlihat sangat sempurna dengan warna oranye yang sedikit ke merah-merahan.
"Indah," kata kami serempak yang tadi duduk di sebuah bangku kayu panjang di warung makan kecil.
"Ayo pergi mendekat!" seruku kepada mereka, pun mereka setuju dan kami segera pergi mendekat kepada bulan.
Pergi ketempat pertama, aku merasa kurang senang karena bulan masih terlihat sangat jauh.
Mendarat ke tempat selanjutnya, kami hanya berputar-putar karena tidak juga menemukan tempat yang sesuai. Setelahnya, kami menyadari bahwa semakin lama sang bulan semakin kabur dimakan oleh awan yang entah datang dari sudut mana.
Aku bisa mendengar suara napas diriku sendiri berat karena kecewa,
"mengapa tidak bisa bertahan lebih lama?" ujarku pelan.
Di perjalanan pulang, entah mengapa sesuatu menggerogoti pikiranku.
Malam ini bulan terlihat sangat indah, cahayanya indah seindah tatapannya dulu.
Tiba-tiba saja sang bulan menggiring ingatanku pada iris matanya waktu pertama kali kami bertemu.
Seperti sebuah teater tua, otakku dengan cepat memutar bagian film dimana kami saling berbincang, tertawa dan menatap malu satu sama lain di atas bangku kayu panjang yang berada di pojok dari kedai kopi kala itu.
Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana matanya dipenuhi oleh kegembiraan dan ingatan akan matanya masih saja mampu membuatku mencair. Diam diam aku mengembangkan sebuah senyuman ketika mengingat bagaimana ia menatap mataku saat itu.
Jujur saja, belakang hari ini aku sering berteriak untuk meminta sebuah bantuan karena hampir semua tentangnya melekat pada ujung jari-jari tanganku. Tidak ada satupun yang terlepas, semakin aku mencoba untuk melupakannya semakin pula ingatan akan dirinya melekat..
Aku berteriak namun tidak ada yang mampu mendengar jeritanku karena lagi-lagi aku hanya berbisik pada kuping samarnya.
Teruntuk kau, orang yang kenangannya masih saja mampu melumpuhkanku ;
Aku berharap kau dapat mendengar doa-doa yang kupanjatkan untuk kedua bola mata itu agar tetap menatapku tajam setajam pertama kali kau melihatku....
bertemu lagi dengan hari Selasa. Entah mengapa semua terjadi tanpa sadar di hari Selasa. Aku pun tidak menyadarinya sebelum menulis ini semua.
Malm ini,
aku melihat bulan dengan bulat sempurna menggantung di langit yang gelap namun tidak terlalu pekat. Bulan dengan gagah muncul diantara para bintang yang tidak begitu banyak namun masih terlihat kilatannya.
Dia, malam ini terlihat sangat sempurna dengan warna oranye yang sedikit ke merah-merahan.
"Indah," kata kami serempak yang tadi duduk di sebuah bangku kayu panjang di warung makan kecil.
"Ayo pergi mendekat!" seruku kepada mereka, pun mereka setuju dan kami segera pergi mendekat kepada bulan.
Pergi ketempat pertama, aku merasa kurang senang karena bulan masih terlihat sangat jauh.
Mendarat ke tempat selanjutnya, kami hanya berputar-putar karena tidak juga menemukan tempat yang sesuai. Setelahnya, kami menyadari bahwa semakin lama sang bulan semakin kabur dimakan oleh awan yang entah datang dari sudut mana.
Aku bisa mendengar suara napas diriku sendiri berat karena kecewa,
"mengapa tidak bisa bertahan lebih lama?" ujarku pelan.
Di perjalanan pulang, entah mengapa sesuatu menggerogoti pikiranku.
Malam ini bulan terlihat sangat indah, cahayanya indah seindah tatapannya dulu.
Tiba-tiba saja sang bulan menggiring ingatanku pada iris matanya waktu pertama kali kami bertemu.
Seperti sebuah teater tua, otakku dengan cepat memutar bagian film dimana kami saling berbincang, tertawa dan menatap malu satu sama lain di atas bangku kayu panjang yang berada di pojok dari kedai kopi kala itu.
Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana matanya dipenuhi oleh kegembiraan dan ingatan akan matanya masih saja mampu membuatku mencair. Diam diam aku mengembangkan sebuah senyuman ketika mengingat bagaimana ia menatap mataku saat itu.
Jujur saja, belakang hari ini aku sering berteriak untuk meminta sebuah bantuan karena hampir semua tentangnya melekat pada ujung jari-jari tanganku. Tidak ada satupun yang terlepas, semakin aku mencoba untuk melupakannya semakin pula ingatan akan dirinya melekat..
Aku berteriak namun tidak ada yang mampu mendengar jeritanku karena lagi-lagi aku hanya berbisik pada kuping samarnya.
Teruntuk kau, orang yang kenangannya masih saja mampu melumpuhkanku ;
Aku berharap kau dapat mendengar doa-doa yang kupanjatkan untuk kedua bola mata itu agar tetap menatapku tajam setajam pertama kali kau melihatku....
Comments